Sudahkah Engkau Menasihati dan Mendoakan Pemimpinmu

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah Nasehat. Kami bertanya : Nasihat untuk siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum muslimin secara umum”. (HR. Muslim no. 55).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan :
“Termasuk hak pemimpin dan penguasa adalah ditutup aib dan kekurangannya sebisa mungkin. bukanlah termasuk nasehat menyebarkan kekurangan dan kesalahan pemimpin di tempat ramai, karena itu akan menjadikan rakyat marah, emosi dan membenci kepada pemimpin.
jika hati rakyat telah dipenuhi kebencian kepada para pemimpin maka akan mudah diprovokasi untuk memberontak kepada pemimpinnya, yang akhirnya akan mengakibatkan kerusakan sangat besar.
menutupi aib dan kesalahan pemimpin bukan berarti kita diam dari kesalahan dan kekurangannya, akan tetapi tetap memberikan nasehat kepada pemimpin secara langsung jika memungkinkan, jika tidak maka melalui perantara para ulama atau orang-orang yang memiliki kedudukan disisi pemimpin”. (Syarah Al Arbain An Nawawiyah, hal. 181 -secara ringkas-).
Berkata Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dalam kitabnya (Syarah Al Arbain An Nawawiyah, hal. 135-136) :
“Syarat-syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang menasehati pemimpin adalah,

1. Memberi nasehat dengan baik, lemah lembut, bahasa yang mudah difahami.

Allah Ta’ala telah mengingatkan Nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan mendatangi Fir’aun :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Qs. Thaha : 44)
karena hakikatnya orang yang memberi nasehat adalah menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasehati. -bukan untuk merendahkan dan berharap keburukan baginya-.

2. Memberikan nasehat dengan cara rahasia bukan terang-terangan (di tempat umum).

Karena hukum asal memberikan nasehat kepada pemimpin dan lainnya adalah rahasia. karena nasehat yang disampaikan di tempat umum bisa menghalangi pemimpin menerima nasehat tersebut.

Sebagaimana wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ 
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasehat, maka itu yang diharapkan dan jika penguasa itu tidak mau menerima, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya”. (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no. 1097, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Dzilalul Jannah hal. 477-478).
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah mengatakan :
“Kami pernah mendengar sebagian orang yang sok tau lagi sok berilmu mengatakan bahwa mendoakan kebaikan untuk para pemimpin adalah termasuk kemunafikan.
maka kami katakan: kewajiban kalian adalah mendoakan kebaikan untuk para pemimpin agar berubah menjadi baik dan istiqamah.
kemudian sebagian lagi mengatakan bahwa mendoakan kebaikan untuk pemimpin berarti menjilat pemimpin dan mencari muka karena ini tidak ada contohnya dari salaf.
maka kami jawab: sesungguhnya termasuk nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin yang paling besar adalah mendoakan kebaikan untuk mereka dan ini dicontohkan para salaf shaleh, mereka mendoakan kebaikan bagi para pemimpin bahkan mendoakan kebaikan untuk pemimpin dalam khutbah-khutbah jumat dan hari raya. ini perkara yang sudah dikenal di tengah-tengah umat dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang jahil atau yang di dalam hatinya ada kedengkian dan hasad.
diantara contoh salaf adalah perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah :
لَو كَانَت لِي دَعْوةً مُستَجَابةً مَا جَعَلتُهَا إِلاَّ فِي السُّلطَانِ، قِيلَ لهُ: يَا أبَا عَلِيٍّ فَسِّر لَنَا هَذَا؟
قَالَ: إذَا جَعَلتُهَا فِي نَفْسِي لَمْ تَعْدُنِي، وَإذَا جَعَلتُهَا فِي السُّلطَانِ صَلَحَ، فصَلَحَ بِصَلَاحِه العِبَادُ وَالبِلَادُ
“Jika aku memiliki doa baik yang pasti dikabulkan niscaya aku persembahkan semuanya bagi pemimpin. dikatakan kepadanya: wahai Abu Ali (Fudhail) jelaskan kepada kami maksud ucapanmu tersebut?
beliau berkata: Jika doa itu aku tujukan hanya untuk diriku sendiri maka hanya akan bermanfaat untukku sendiri, tapi jika aku persembahkan untuk pemimpin dan ternyata berubah menjadi baik, maka semua orang dan negeri merasakan manfaat kebaikannya”. (Syarhus Sunnah Al Barbahari, hal. 113-114).
ini menunjukkan fiqihnya beliau rahimahullah, karena baiknya dan kesejahteraan kaum muslimin mengikuti baiknya pemimpin, maka termasuk nasehat kepada pemimpin adalah dengan mendoakan kebaikan untuk mereka”. (Al Minhatu Ar Rabbaniyyah fi Syarhi Al Arbain An Nawawiyyah, hal. 91).
Diantara syubhat ahlil bida’ -harakiyyun- adalah bahwa yang wajib didoakan hanya pemimpin yang adil saja, adapun pemimpin yang dzalim tidak berhak didoakan kebaikan untuknya.
Maka kita jawab :
1. Pernyataan demikian ini menunjukkan kejahilan atau kebenciannya kepada pemimpin, semoga Allah memberinya hidayah dan ilmu.
2. Perhatikanlah ucapan Al Fudhail bin ‘Iyadh  rahimahullah tersebut dan perkataan para ulama bahwa pemimpin yang adil dan dzalim harus didoakan, bahkan pemimpin yang dzalim lebih butuh kepada doa kebaikan agar mendapatkan hidayah dan taufiq dalam mengemban amanah kepada rakyatnya.
Berkata Imam Al Barbahari rahimahullah :
فَأُمِرنَا أَنْ نَدْعُو لَهُم بِالصَّلَاحِ، وَلَم نُؤمَرْ أَنْ نَدعُوَ عَلَيهِم وَإِنْ ظَلَمُوا وَإِنْ جَارُوا، لِأَنَّ ظُلمَهُمْ وَجَورَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ، وَصَلَاحَهُمْ لِأَنفُسِهِمْ وَلِلمُسْلِمِينَ
“Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi pemimpin, dan tidak diperintahkan berdoa buruk bagi pemimpin meskipun mereka dzalim dan berbuat sewenang-wenang, karena kedzaliman mereka akan mereka tanggung sendiri dosanya sedangkan kebaikan pemimpin akan bermanfaat bagi diri mereka dan kaum muslimin”. (Syarhus Sunnah Al Barbahari, hal.114).
3. Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan hafidzahullah :
 
لَا يَجُوزُ الدُّعَاء عَلَيهِمْ، لأَنَّ هَذَا خُرُوجٌ مَعنَوِي، مِثلُ الخُرُوجِ عَلَيهِم بِالسِّلَاحِ، وَكَونُه دَعَا عَلَيهِم لِأنَّه لَا يَرَى وِلَايَتهُمْ، فَالوَاجِبُ الدُّعاءُ لَهمْ بِالهُدَى وَالصَّلَاحِ، لَا الدُّعَاء عَلَيهِم، فَهَذَا أَصْلٌ مِن أُصُولِ أَهْلِ السُّنّة وَالجَمَاعَةِ … 
فَالَّذينَ يدَعُونَ عَلى وُلاةِ أُمُورِ المُسْلمِينَ لَيسُوا عَلَى مَذهَبِ أَهلِ السُّنّةِ وَالجَماعَةِ؛ وَكذَلِك الَّذِينَ لَا يَدعُونَ لهُمْ، وهَذَا علَامَةٌ أَنّ عنْدَهُم انحِرَافاً عَنْ عَقِيدَة أهْلِ السنَّةِ وَالجمَاعَةِ
“Tidak boleh mendoakan keburukan kepada pemimpin, karena ini termasuk khuruj (pemberontakan) secara maknawi, seperti khuruj kepada pemimpin dengan senjata. mendoakan keburukan kepada meraka sejatinya tidak meyakini kedudukannya sebagai pemimpin, maka wajib mendoakan kebaikan untuk mereka agar diberi hidayah dan kebaikan. karena ini adalah prinsip Ahlis sunnah wal jama’ah ..
maka orang-orang yang mendoakan keburukan bagi pemimpin kaum muslimin tidaklah diatas madzhab Ahlis sunnah wal jama’ah. begitu juga yang tidak mendoakan kebaikan bagi pemimpin maka mereka memiliki penyimpangan dari aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah”. (At Ta’liqat Al Mukhtasharah ala matni Al Aqidah At Thahawiyah, hal. 171-172).
Semoga bermanfaat,.
اللهم أصلح ولاة أمورنا ووفقهم لما فيه صلاح الدين والدنيا، وهيئ لهم البطانة الصالحة التي تعينهم على الحق،. آمين
WaAllahu A’lam
Alif/Solo/05/04/2020.
Bahan bacaan :
1. Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Ibnu Utsamin, cet. pertama 2019, Maktabah As Syafi’iyyah Mesir.
2. Al Minha Ar Rabbaniyyah fi syarhi Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Shaleh Al Fauzan, cet. pertama 1435 H/2013 M, Dar Alamiyah Cairo.
3. Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Shaleh Alu Syaikh, cet. pertama 1435 H/2014 M, Dar Al Kalim At Thayyib Cairo.
4. Syarhus Sunnah, Imam Al Barbahari, cet. pertama 1426 H, Dar Al Minhaj Riyadh.
5. At Ta’liqat Al Mukhtasharah ala matni Al Aqidah At Thahawiyah, Syaikh Al Fauzan, cet.  pertama, 1422 H/2001 M, Dar Al ‘Ashimah Riyadh.
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *