Shalat Sunnah Fajr

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

A. HUKUM SHALAT 2 RAKAAT FAJAR

Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dua rakaat fajar :

Pendapat pertama. Shalat dua rakaat fajar hukumnya wajib. ini adalah pendapatnya Al Hasan Al Bashri, sebagian Hanafiyyah dan dipilih Imam As Syaukani dalam (Nailul Authar 3/24).

Dalil mereka adalah hadits :

لَا تَدَعُوا رَكْعَتَيِ الفَجْرِ، وَلَو طَرَدَتْكُمُ الخَيلُ

“Janganlah kalian tinggalkan shalat sunnah fajar walaupun kalian dikejar tentara berkuda”. (HR. Abu Dawud dalam sunannya no. 1258 dan Ahmad dalam musnadnya no. 9253).

Hadits ini derajatnya dha’if, sebagaimana didha’ifkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Al Musnad dan Syaikh Al Albani dalam Tamamul minnah hal. 236 dan Dha’iful jami’ no. 6208.

Pendapat kedua. Hukumnya Sunnah yang sangat ditekankan, ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Dalil-dalil mereka adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga”. (HR. Muslim no. 728, dari Ummu Habibah radiyaAllahu anha)

Dua belas rakaat yang disebutkan Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk dua rakaat fajar.

Juga sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :

رَكْعَتَا الْفَجْر خَيْر مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia seisinya”. (HR. Muslim no. 725, dari Aisyah radiyaAllahu anha).

Berkata Aisyah radiyaAllahu anha :

أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي شَأْنِ الرَّكْعَتَيْنِ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا جَمِيعًا

Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda tentang dua rakaat sebelum fajar: “Kedua rakaat itu lebih aku sukai daripada dunia seluruhnya!”. (HR. Muslim no. 725)

Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari (dalam shahihnya no. 1169) dari Aisyah radiyaAllahu anha ia berkata :

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

“Tidak ada shalat sunnah yang lebih Nabi shallallahu alaihi wasallam tekuni daripada dua rakaat fajar”.

Bahkan ketika safar juga tetap dianjurkan untuk shalat dua rakaat fajar.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam (Zaadul Ma’ad 1/315) : “Adalah petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika safar mencukupkan shalat wajib, dan tidak pernah dinukil dari beliau shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat wajib kecuali hanya shalat witir dan sunnah fajar, karena beliau tidak pernah meninggalkan keduanya baik dalam keadaan muqim maupun safar”.

Maka pendapat yang kedua inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil diatas.

B. KEISTIMEWAAN 2 RAKAAT FAJAR

Shalat dua rakaat fajar memiliki keistimewaan melebihi shalat sunnah lainnya. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam (As Syarhul Mumti’ 4/71) :

Dua rakaat fajar memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya :

1. Tetap disyariatkan baik dalam keadaan muqim dan safar
2. Pahalanya lebih baik daripada dunia dan isinya
3. Disunnahkan memendekkan shalat dengan tanpa mengurangi kewajiban
4. Disunnahkan membaca pada rakaat pertama { قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ } dan pada rakaat kedua { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ }.

atau pada rakaat pertama membaca (Qs. Al Baqarah : 136) :

{ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ }

dan pada rakaat kedua membaca (Qs. Ali Imran : 52) :

{ قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا }

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radiyaAllah anha ia berkata :

كَانَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يُخَفِّفُ الرَّكعَتَينِ اللَّتَيْنِ قَبلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ، حَتَّى إنِّي لَأَقُولُ: هَلْ قَرَأَ بِأمِّ الكِتَابِ؟

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meringankan dua rakaat ini sebelum shalat shubuh hingga aku bertanya: Apakah Engkau membaca Ummul Kitab (Al Fatihah)?”. (HR. Bukhari no. 1171 dan Muslim no. 724).

C. WAKTU SHALAT 2 RAKAAT FAJAR

Waktunya adalah ketika masuk waktu terbitnya fajar atau setelah adzan subuh. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin :

رَكعَتَا الفَجْرِ مِثلُ صَلَاةِ الفَجْرِ فَلَا تُصلِّي سُنَّةَ الفَجْرِ إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الفَجرِ

“Dua rakaat fajar seperti shalat fajar, maka jangan engkau shalat sunnah fajar kecuali setelah terbitnya fajar”. (Majmu’ Fatawa 14/276).

D. SUNNAH DALAM SHALAT FAJAR

Sebagaimana shalat-shalat sunnah lainnya maka dianjurkan melaksanaknnya di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

“Wahai manusia, Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dilakukannya di rumahnya, kecuali shalat fardhu”. (HR. Bukhari no. 7290 dan Muslim no. 781)

Tetapi jika seseorang masuk masjid dan belum shalat dua rakaat fajar maka yang lebih utama adalah cukup shalat dua rakaat fajar tanpa shalat tahiyyatul masjid, karena dua rakaat fajar tersebut telah menggugurkan tahiyyatul masjid. 

Berkata Syaikh Bin Baz rahimahullah (Majmu’ Fatawa 11/375) :

المَشْرُوعُ فِي مِثلِ هَذَا أَنْ يُصَلِّي الرَّاتِبَة وَتَكفِي عَنِ التَّحِيَّةِ

“Yang disyariatkan dalam kondisi seperti ini hendaknya shalat sunnah rawatib (dua rakat fajar) dan itu cukup bagi tahiyyatul masjid”.

Syaikh Ibnu Utsaimin juga mengatakan dalam (14/278) :

“Seseorang yang shalat tahiyyatul masjid maka tidak menggugurkan sunnah fajar jika niatnya hanya untuk tahiyyatul masjid, tetapi jika ia meniatkan shalatnya untuk sunnah fajar maka gugurlah tahiyyatul masjid”.

E. HUKUM MENGQADHA 2 RAKAAT FAJAR

Jika seseorang belum shalat dua rakaat fajar dan iqamah sudah dikumandangkan maka dianjurkan untuk menqadhanya setelah shalat subuh, ini madzhab Ibnu Umar, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafiiyyah -pendapat shahih-, Hanabilah, Ibnu Hazm (Al Muhalla 3/7-8), Ibnu Taimiyyah (Majmu Fatawa 23/210), Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad 3/358), Ibnu Baz (Majmu Fatawa 11/384) dan Ibnu Utsaimin (Majmu Fatawa 14/351).

Dalil-dalilnya adalah Riwayat Abu Hurairah radiyaAllahu anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: عَرَّسْنَا مَعَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ نَسْتَيْقِظْ حَتَّى طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَأْخُذْ كُلُّ رَجُلٍ بِرَأْسِ رَاحِلَتِهِ فَإِنَّ هَذَا مَنْزِلٌ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَانُ قَالَ فَفَعَلْنَا ثُمَّ دَعَا بِالْمَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَقَالَ يَعْقُوبُ ثُمَّ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْغَدَاةَ

Dari Abu Hurairah ia berkata: Kami pernah singgah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam, Kami tidak bangun hingga matahari terbit. Maka spontan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya setiap kalian menuntun kepala hewan tunggangannya masing-masing, sebab persinggahan ini telah didatangi setan”. Abu Hurairah berkata: Kami pun melaksanakan apa yang beliau perintahkan. kemudian beliau meminta air, setelah beliau berwudhu’, beliau sujud dua kali. Ya’kub mengatakan: Kemudian beliau mengerjakan dua kali sujud (dua rakaat fajarr). Kemudian iqamat shalat dikumandangkan, beliau langsung mengerjakan shalat subuh”. (HR. Muslim no. 680)

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

وَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ

“Sungguh aku kedatangan rambongan orang dari suku ‘Abdul Qais yang menyebabkan aku terhalang dari mengerjakan dua raka’at setelah Zhuhur. Itulah yang aku kerjakan (setelah ashar)”. (HR. Abu Dawud no. 1273, dalam shahihul jami’ no. 7895, dari Ummu Salamah radiyaAllahu anha)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam mengqadha sunnah rawatib setelah dzhuhur di saat selesai shalat ashar, maka mengqadha sunnah fajar tentu lebih diutamakan karena ia lebih utama dari rawatib lainnya.

عَنْ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُصَلِّي بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَصَلَاةَ الصُّبْحِ مَرَّتَيْنِ؟! فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا فَصَلَّيْتُهُمَا، قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Qais bin Amru radiyaAllahu anhu ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat seorang laki-laki shalat dua rakaat setelah subuh, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: Apakah ada shalat subuh dikerjakan dua kali! laki-laki itu menjawab: Sesungguhnya aku belum mengerjakan dua rakaat sebelum subuh, maka aku mengerjakannya. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun diam”. (HR. Abu Dawud no.1267 dan Ibnu Majah no. 954, dishahihkan Syaikh Al Albani)

Hadits menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mentaqrir (menyetujui) peebuatan shahabat tersebut, yaitu mengqadha dua rakaat fajar.

Abdullah bin Umar radiyaAllahu anhuma juga mengqadha dua rakaat fajar, sebagaimana diriwayatkan oleh Nafi’ rahimahullah ia berkata :

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالْقَوْمُ فِي الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَكُنْ صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فَدَخَلَ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ ثُمَّ قَعَدَ حَتَّى إِذَا أَشْرَقَتْ لَهُ الشَّمْسُ قَضَاهَا

“Bahwa Ibnu Umar pernah masuk masjid sedangkan orang-orang sedang melaksankan shalat berjamaah, dan beliau belum shalat dua rakaat fajar. maka beliau ikut shalat berjamaah, setelah shalat beliau duduk sampai waktu terbitnya matahari kemudian mengqadha shalat dua rakaat fajar”. (HR. Abdurrazzaq As Shan’ani dalam Al Mushannaf no. 4017).

WaAllahu A’lam

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan menambah kita semua untuk semangat dalam melaksanakan sunnah fajar sehingga kita mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Bahan Bacaan :

1.    Kitab As Shalah, Prof. DR. Abdullah bin Muhamma At Thayyar, madar al wathan Riyadh, cet. Kedua belas th. 1436 H
2.    Shahih Fiqhis Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim, maktabah at taufiqiyyah Cairo, cet. Pertama
3.    Bughyatul Mutathawwi’, Prof. DR. Muhammad bin Umar BAzmul, dar al hijrah Riyadh, cet. Pertama th. 1414 H
4.    Nailul Authar, Imam Muhammad bin Ali As Syaukani, dar Imam Malik Al Jazaair, cet. Pertama th. 1426 H
5.    Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad NAshiruddin Al Albani, dar ar rayah Riyadh, cet. Kelima, th. 1419 H.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *