Sebab Ulama Berbeda Pendapat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Perbedaan pendapat diantara ulama tidak bisa dihindari, karena ini merupakan sunnatullah dan pernah terjadi juga pada generasi terbaik yaitu Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Diantara perbedaan pendapat yang terjadi diantara para shahabat adalah sebagaimana yang diceritakan Ibnu Umar radiyaAllahu anhuma :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ : لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

“Dari Ibnu Umar berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab : Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah. Maka tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari shahbat berkata : Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan. dan sebagian lain berkata : Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka”. (HR. Bukhari no. 946)

A. MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)

Perbedaan pendapat terbagi menjadi dua :

1.    Ikhtilaf yang ditoleransi, yaitu dalam permasalahan fiqih. Hal ini terjadi sejak masa shahabat dan saling mereka menghormati dalam perbedaan pendapat. Begitu juga perbedaan yang terjadi dikalangan para tabi’in dan ulama setelahnya dari imam-imam empat madzhab.

2.    Ikhtilaf yang tidak ditoleransi, yaitu dalam permasalahan prinsip pokok-pokok aqidah. Perbedaan dalam hal ini perkara yang tercela, karena para shahabat tidak berbeda pendapat begitu juga ulama yang datang setelahnya dalam poko-pokok aqidah. Bahkan yang berbeda pendapat dan menyelisihi dalil shahih dihukumi sebagai ahlil bida’ wal ahwa’.

Contoh : Prinsip aqidah, bahwa Allah Maha Tinggi dan Allah beristiwa’ diatas Arys. Sebagaimana firmanNya :

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“Ar Rahman (Yang Maha Pemurah) yang beristiwa’ di atas ‘Arsy”.(Qs. Thaha : 5)

Dan juga ratusan dalil-dalil shahih tentang prinsip aqidah ini. Karena ini merupakan pokok aqidah yang telah disepakati Ahlis sunnah, barangsiapa yang menyelishi dan berpendapat bahwa Allah tidak beristiwa’ diatas Arsy maka dihukumi sebagai ahli bida’.

B. SEBAB-SEBAB PERBEDAAN DIANTARA ULAMA

Diantara sebab perselisihan pendapat dikalangan ulama adalah :

1. SEBAB PERBEDAAN DALAM BACAAN MUTAWATIRAH (AYAT).

Diantara contohnya adalah dalam bacaan (وَأَرْجُلَكُمْ) :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (Qs. Al Maidah : 6)

Nafi’, Ibnu Ashim, Al Kasa’I, membaca ayat ini (وَأَرْجُلَكُمْ) dengan nashab huruf lam (fatha). Sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amru dan Hamzah membacanya dengan (وَأَرْجُلِكُمْ) jar huruf lam (kasrah).

Maka dari perbedaan dalam bacaan ini menjadikan perselisihan ulama dalam hukumnya, diantara madzhab ulama :

1.    Madzhab jumhur ulama para shahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bacaan nashab (fatha), maka kewajiban dalam wudhu adalah mencuci kedua kaki dan bukan mengusap. Berdasarkan dalil-dalil berikut :

Hadits dari Ibnu Umar ia berkata :

تَخَلَّفَ عَنَّا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلَاةُ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا

“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah tertinggal dari kami dalam suatu perjalanan yang kami lakukan hingga Beliau mendapatkan kami, sementara waktu shalat sudah hampir habis, kami berwudhu dengan hanya mengusap kaki kami. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berseru dengan suara yang keras: Celakalah bagi tumit-tumit yang tidak basah akan masuk neraka. Beliau serukan hingga dua atau tiga kali”. (HR. Bukhari no. 60 dan Muslim no. 241)

Maka dzahir dari hadits ini adalah wajib mencuci kedua kaki, sedangkan mengusap tidak dibolehkan.

Juga dalam sifat wudhu Nabi shallallahu alaihi wasallam semunya menjelaskan bahwa beliau selalu mencuci kedua kakinya, kecuali jika sedang memakai khuf maka cukup mengusapnya.

2.    Madzhab Al Hasan Al Bashri dan Ibnu Jarir At Thabari bahwa dalam berwudhu boleh memilih antara mencuci kaki atau mengusapnya. Dalilnya adalah kedua bacaan, baik dengan nashab (fatha) atau jar (kasrah) keduanya adalah termasuk tujuh qira’at yang mutawatir, dan tidak bisa ditarjih antara keduanya. Maka dibolehkan memilih antara mencuci atau mengusap kaki.

3.    Madzhab sebagian Dzahiriyyah adalah wajib mengusap dan mencuci kedua kaki dalam berwudhu. Dalillnya adalah karena kedua bacaan baik tersebut, dengan nashab (fatha) karena diikutkan kepada wajibnya membasuh wajah dan tangan, atau bacaan jar (kasrah) diikutkan kepada mengusap kepala, dan semuanya termasuk tujuh bacaan mutawatir yang mengharuskan untuk mengusap dan mencuci bersamaan.

Contoh lain dalam perbedaan bacaan ayat (لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ), yaitu firman Allah :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“Dan jika kamu sakit atau sedang safar atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu”. (Qs. An Nisa : 43)

Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amru, Ashim, Ibnu ‘Amir membacanya (لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ), sedangkan Hamzah, Al Kasa’i membacanya (لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ) maka dari sini terjadi perbedaan ulama tentang makna dan hukum lamas (menyentuh) :

1.    Madzhab Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat bahwa maksud lamas dalam ayat tersebut adalah hakikat secara dzahir, yaitu sekedar menyentuh dengan tangan.

2.    Madzhab Hanafiyyah bahwa maksud dari lamas adalah jima’. Diantara dalil-dalilnya :

Dikalangan orang arab bahwa kalimat lamas (اللَّمْسُ) berarti jima’, sebagaimana ucapan Maryam :

قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ

“Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku”. (Qs. Maryam : 20)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyaAllahu anhuma bahwa maksud dari lamas adalah jima’.

Sebagian mengatakan bahwa kalimat lamas jika digandengkan dengan wanita maka maksudnya adalah jima’.

3.    Madzhab Malikiyyah lebih dekat kepad madzhab Syafi’i bahwa maksud (اللَّمْسُ) sentuhan dengan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ

“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri”. (Qs. Al An’am : 7)

Sebagaimana dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam :

كُلُّ ابْنِ آدَمَ أَصَابَ مِنْ الزِّنَا لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنُ زِنَاهَا النَّظَرُ وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

“Setiap anak cucu Adam jatuh kepada perbuatan zina, tidak mungkin tidak, maka mata zinanya adalah melihat, tangan zinanya adalah memegang”. (HR. Ahmad no. 8598, dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Al Albani dalam As Shahihah no. 2804)

Meskipun Malikiyyah berpendapat demikian, tetapi tidak berpendapat bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, kecuali jika dengan syahwat.

2. SEBAB KALIMAT YANG MUSYKIL (KURANG JELAS) MUSYTARAK (MEMILIKI ARTI LEBIH)

Diantara contohnya adalah dalam firman Allah :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al Baqarah : 228)

Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama arti (قروء) quru’ diantaranya :

1.    Madzhab Khulafaur Rasyidin, sebagian Thabi’in dan Abu Hanifah, At Tsauri, Al Auza’I bahwa quru’ adalah haid.

2.    Madzhab Ibnu Umar, Aisyah, sebagian Thabi’in, Malik, Syafi’I dan riwayat dari Imam Ahmad bahwa arti quru’ adalah suci.

Contoh lain adalah adanya beberapa nash yang dzhairnya saling bertentangan. Padahal hakikatnya tidak akan ada nash-nash syar’i yang saling bertentangan, karena semua datangnya dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ  وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Qs. An Nisa : 82)

Diantara contoh dzahir nash bertentang dengan nash lainnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

“Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al Quran hendaklah dihapus”. (HR. Muslim no. 3004)

Dengan hadits :

فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ اكْتُبُوا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ

“Abu Syah berdiri, dia seorang penduduk Yaman dan berkata: Wahai Rasulullah, tuliskanlah buatku? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: Tuliskanlah buat Abu Syah”. (HR. Bukhari no. 2434 dan Muslim no. 1355)

Sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara shahabat tentang hukum menulis hadits-hadits Nabawi, diantaranya :

1.    Pendapat Ibnu Umar, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit bahwa tidak boleh mencatat hadits-hadits Nabawi.

2.    Pendapat Abdullah bin Amru, Anas bin Malik dan kebanyakan shahabat adalah boleh mencatat hadits-hadits Nabawi.

3. HADITS TELAH SAMPAI KEPADA SEBAGIAN ULAMA TETAPI BELUM SAMPAI KEPADA SEBAGIAN YANG LAIN

Para shahabat menyebar di berbagai negeri dan benua, maka mereka yang tingga di luar Hijaz (Makkah dan Madinah) tentu sebagian hadits belum sampai kepada mereka. Bagi sebagian shahabat dan ulama yang tinggal diluar kota Madinah dan belum sampai kepadanya hadits maka mereka berijtihad dalam menghukumi suatu permasalahan. Berbeda dengan yang tinggal di Kota Madinah maka sangat mudah mendapatkan hadits-hadits Nabi karena banyaknya para shahabat yang tinggal di sana.

Bahkan sebagian Shahabat yang tinggal di Madinah kadang hadits belum sampai kepada mereka, sehingga berfatwa dengan dalil

Contohnya adalah Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas pernah berfatwa bahwa wanita yang ditinggal meninggal suaminya dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah dua iddah, yaitu iddah ditinngal meninggal dan iddah hamil. Karena belum sampai kepada mereka hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang Suba’ah Al Aslamiyyah radiyaAllahu anha, padahal telah sampai kepada yang lain. yaitu hadits Sulaiman bin Yasar ia berkata :

أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ عَبَّاسٍ اجْتَمَعَا عِنْدَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُمَا يَذْكُرَانِ الْمَرْأَةَ تُنْفَسُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : عِدَّتُهَا آخِرُ الْأَجَلَيْنِ، وَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ : قَدْ حَلَّتْ. فَجَعَلَا يَتَنَازَعَانِ ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَا مَعَ ابْنِ أَخِي يَعْنِي أَبَا سَلَمَةَ فَبَعَثُوا كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ، يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ فَجَاءَهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ : إِنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ وَإِنَّهَا ذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ

“Bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibnu Abbas berkumpul bersama Abu Hurairah, sedangkan keduanya menyebutkan mengenai seorang wanita yang melahirkan, setelah kematian suaminya beberapa malam, maka Ibnu Abbas mengatakan : Iddahnya adalah akhir dari dua masa (masa iddah dan kelahiran). Sedangkan Abu Salamah mengatakan : Iddahnya telah selesai karena kelahiran.  Maka keduanya saling berselisih pendapat mengenai masalah tersebut. Maka Abu Hurairah berkata : Saya dan anak saudaraku yaitu Abu Salamah akhirnya mengutus Kuraib -mantan budak- Ibnu Abbas untuk menemui Ummu Salamah dan menanyakan permasalahan tersebut, tidak lama kemudian Kuraib kembali kepada mereka dan memberitahukan bahwa Ummu Salamah berkata : Sesungguhnya Subai’ah Al Aslamiyah pernah melahirkan setelah kematian suaminya beberapa hari, kemudian dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan beliau menyuruhnya menikah”. (HR. Muslim no. 1485).

Maka tidaklah disyaratkan bagi mujtahid harus mengetahui seluruh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam (Raf’ul malam hal. 21) : “Sesungguhnya (jika) disyaratkan bagi mujtahid harus mengetahui seluruh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam niscaya tidak akan ada seorang pun mujtahid di tengah-tengah umat ini”.

4. HADITS TELAH SAMPAI KEPADA SEBAGIAN ULAMA TETAPI DHA’IF MENURUT ULAMA YANG LAIN

Diantara contohnya adalah hadits tentang cara turun menuju sujud :

عَن وَائِلِ بنِ حُجْرٍ قال : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dari Wail bin Hujri radiyallahu anhu ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila ketika sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila hendak bangkit mengangkat kedua tangnnya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Dawud no. 838 dan 839, Tirmidzi no. 268, Nasa’i no. 1154).

Hadits ini telah sampai kepada para ulama tetapi sebagian mereka menghukumi dha’if dan sebagian lain menghukumi shahih, sehingga terjadi perbedaan pendapat tentang hukum mendahulukan lutut terlebih dahulu atau tangan ketika sujud?

Terlebih lagi sampai kepada mereka hadits yang lebih tegas, yaitu :

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيرُ وَليَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ 

“Apabila seorang diantara kalian hendak sujud maka janganlah ia menderum/duduk seperti duduknya onta, maka hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Tirmidzi no. 269, Abu Dawud no. 840, dan Nasa’i no. 1090).

5. HADITS YANG SAMPAI KEPADA SEBAGIAN ULAMA MANSUKH DAN BELUM SAMPAI KEPADANYA HADITS NASIKH

Diantaranya adalah hadits dari Syaddad bin Aus radiyaAllahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam”. (HR. Abu Dawud no. 2369 dan Tirmidzi no. 774).

Dan hadits dari Abdullah bin Abbas ia berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan hijamah sedangkan beliau dalam keadaan ihram dan berpuasa”. (HR. Bukhari no. 1938).

Sehingga terjadi perbedaan pendapat para ulama dari zaman shahabat tentang hukum puasa bagi orang yang berbekam dan yang dibekam, sebagian ulama berpendapat hukumnya batal, sedangkan mayoritas ulama berpendapat puasanya tetap sah karena berhujjah dengan hadits Ibnu Abbas sebagai nasikh (penghapus) dan hadits Syaddad bin Aus adalah mansukh (terhapus).

C. ADAB DALAM PERBEDAAN PENDAPAT

Kita sangat membutuhkan adab dalam menghadapi perbedaan pendapat terlebih perbedaan dalam permasalahan fiqih yang saling ditoleransi, maka diantara adab yang harus diperhatikan adalah :

1.    Membiasakan berdialog dan diskusi dengan baik dan santun dibangun diatas ilmu, dengan memilih kalimat yang baik, dalam tulisan maupun ucapan. Sebagaimana firman Allah :

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ  إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ  وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Qs. An Nahl : 125)

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya. Maka  seorang arab baduwi berdiri sambil bertanya : Untuk siapakah kamar-kamar itu wahai Rasululullah? Nabi menjawab: Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada tidur”. (HR. Tirmidzi no. 1984, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shahih at targhib no. 946)

2.    Bersemangat untuk sampai pada kebenaran dan tidak semata-mata untuk berbeda dan berselisih.

Dinukil dari Imam As Syafi’I bahwa ia berkata :

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إلَّا قُلْتُ : اللَّهُمَّ أَجْرِ الحَقَّ عَلَى قَلْبِهِ وَلِسَانِهِ، فَإِنْ كَانَ الحَقُّ مَعِي اتَّبَعَنِي، وَإِنْ كَانَ الحَقُّ مَعَهُ اتَّبَعْتُهُ

“Tidaklah aku berbeda pendapat dan berdebat dengan orang lain kecuali aku pasti berdoa “Ya Allah, curahkan Al Haq kepada hati dan lisannya”, karena jika kebenaran bersamaku niscaya ia akan mengikuti dan jika kebenaran bersamanya niscaya aku mengikutinya”.

3.    Jujur dalam memaparkan perbedaan pendapat beserta dalil-dalilnya.

Sebagaimana perintah Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا  اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ  وَاتَّقُوا اللَّهَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Qs. Al Maidah : 8)

4.    Berhusnudzan kepada Ulama dan madzhab yang berbeda pendapat. Sebagiamana firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa”. (Qs. Al Hujurat : 12)

Dan wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta, janganlah kalian saling mendiamkan, janganlah suka mencari-cari isu, saling mendengki, saling membelakangi, serta saling membenci, tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (HR. Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563).

5.    Mengikuti kebenaran jika telah nampak kepadanya berdasarkan dalil shahih, dan tidak fanatik dengan pendapat madzhabnya. Sebagaimana firman Allah  :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ  قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Qs. Al A’raf : 3)

Wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar radiyaAllahu anhu, ia berkata :

أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ: بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ، … وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا ..

“Kekasihku (Rasulullah) shallallahu alaihi wasallam pernah perintahkan kepadaku dengan tujuh perkara : Mencintai orang miskin dan mendekat kepada mereka, perintahkan kepadaku untuk mengatakan yang benar meskipun pahit, …”. (HR. Ahmad no. 21415, dan dihasankan Syaikh Al Albani dalam takhrij al misykah no. 5187 dan Syaikh Muqbil dalam as shahih al musnad no. 277)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam (Majmu’ Fatawa 19/104) : “Banyak dari kalangan mujtahid salaf dan khalaf telah berfatwa atau mengerjakan suatu amalan yang sebenarnya hukumnya bid’ah, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah perkara bid’ah dikarenakanhadits-haditsnya dha’if tetapi disangka shahih, atau karena ayat yang mereka fahami tidak sesuai, atau dalam beberapa masalah belum sampai kepadanya dalil-dalil. Jika seorang mujathid benar-benar bertakwa kepada Allah dalam berijtihadnya dan sesuai dengan kemampuannya niscaya ia masuk dalam firman Allah :

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”. (Qs. Al Baqarah : 286)”.

Juga masuk dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim berhukum lalu berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia berhukum lalu berijtihad dan salah maka baginya satu pahala”. (HR. Abu Dawud no. 3574, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shahihul jami’ no. 493).

D. SIKAP DALAM MENGAHADAPI PERBEDAAN PENDAPAT DIANTARA ULAMA

Bagi para penuntut ilmu maka hendaknya melihat kepada dalil-dalil setiap madzhab dan mencari diantara dalil-dalil tersebut yang lebih shahih dan kuat, kemudian mengikutinya, sehingga yang dikedepanan adalah dalil shahih dan tidak fanatik kepada madzhab tertentu atau seorang ulama saja.

Sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Qs. Al A’raf : 3).

Adapun bagi kalangan awam dalam ilmu syar’i maka kewajiban mereka bertanya kepada ahlul ilmi yang dipercaya keilmuan dan agamanya, sebagaimana perintah Allah :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Qs. An Nahl : 43).

Dari sini menunjukkan bahwa pentingnya untuk belajar dan mengetahui perbedaan pendapat dan sebab-sebabnya agar kita bisa berlapang dada dalam perbedaan pendapat yang ditoleransi syariat, dan tidak mudah mencela serta meremehkan pendapat para ulama, tetapi sebaliknya kita mendoakan kebaikan dan memohonkan ampun kepada Allah untuk para ulama.

WaAllahu A’lam.

Bahan bacaan :

1.    Raf’ul malam ‘anil aimmatil a’lam, Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, cet. Pertama, th 1424, dar Ibnu Rajab Mesir.
2.    Al Fiqhu Al Muqaran, DR. Abdul Fattah Bakkarah, cet. Pertama, th 1418, dar An Nafais Beirut.
3.    Al Inkar fi Masaail Khilaf, DR. Abdullah binAbdul Muhsin At Thariqi, cet. Pertama th. 1418.
4.    Shahih fiqhis Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim, cet. Pertama, Al Maktabah At Taufiqiyyah Cairo.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *