Hukum Seputar Wanita -Antara Masjid dan Mushaf-

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

A. Hukum wanita haid dan junub duduk di masjid.

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Jumhur -mayoritas- ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dan junub tidak boleh masuk masjid.

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang sedang haid boleh masuk dan duduk di masjid, dan ini pendapatnya Imam Al Muzani, Imam Ahmad, Imam Dawud Ad Dzahiri, Imam Ibnu Hazm Ad Dzahiri, Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil Al Wadi’i dan yang lain rahimahumullahu. Dan pendapat bolehnya wanita yang haid masuk dan duduk di masjid lebih kita rajihkan, karena beberapa sebab, diantaranya :

1. Karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih/jelas-jelas melarang wanita haid masuk masjid.

2. Seorang shahabat mantan budak wanita tinggal di masjid Nabi shallallahu alaihi wasalam dengan memasang hijab/tenda di masjid Nabi.

Sebagaimana diriwayatkan oleh (Imam Bukhari dalam shahihnya no. 439) dari Aisyah radiyaAllahu anha ia berkata :

أَنَّ وَلِيدَةً كَانَتْ سَوْدَاءَ لِحَيٍّ مِنْ الْعَرَبِ فَأَعْتَقُوهَا … فَجَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَتْ، فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ

“Bahwa ada seorang budak perempuan hitam milik suatu kaum orang Arab telah mereka merdekakan. …. Lalu budak ini menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan masuk Islam. Berkata Aisyah :  budak ini memiliki tenda kecil di masjid”.

3. Dahulu para shahabat dari ahlu shuffah mereka tinggal dan menginap di masjid, padahal bisa jadi diantara mereka ada yang junub dan tetap tinggal di masjid.

Sebagaimana diriwayatkan (Imam Bukhari dalam shahihnya no. 442) dari Abu Hurairah radiyaAllahu anhu ia berkat :

لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَلَيْهِ رِدَاءٌ إِمَّا إِزَارٌ وَإِمَّا كِسَاءٌ قَدْ رَبَطُوا فِي أَعْنَاقِهِمْ فَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ نِصْفَ السَّاقَيْنِ وَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ الْكَعْبَيْنِ فَيَجْمَعُهُ بِيَدِهِ كَرَاهِيَةَ أَنْ تُرَى عَوْرَتُهُ

“Sungguh, aku pernah melihat sekitar tujuh puluh orang dari Ashhabush Shuffah. Tidak ada seorangpun dari mereka yang memiliki rida’ (selendang), atau kain, atau baju panjang kecuali mereka ikatkan dari leher mereka. Di antara mereka ada yang kainnya sampai ke tengah betisnya dan ada yang sampai ke mata kaki. Kemudian dia lipatkan dengan tangannya karena khawatir auratnya terlihat”.

4. Kalau orang musyrik hukumnya boleh masuk masjid, maka tentu lebih utama seorang muslim yang junub atau muslimah yang haid dibolehkan masuk dan duduk di masjid.

Sebagaimana kisah seorang musyrik yang ditawan di dalam masjid Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang  haditsnya diriwayatkan (Imam Bukhari no. 462 dan Muslim no. 1762) dari Abu Hurairah radiyaAllahu anhu ia berkata :

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ ! فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنْ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, pasukan itu lalu kembali dengan membawa seorang laki-laki dari bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka kemudian mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu keluar menemuinya dan bersabda : Lepaskanlah Tsumamah. Maka Tsumamah masuk ke kebun kurma dekat Masjid untuk mandi. Setelah itu ia kembali masuk ke Masjid dan mengucapkan : Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selian Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

5. Adapun hadits yang melarang wanita haid masuk dan duduk di masjid dengan lafadz :

إِنِّي لَا أُحِلُّ المَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ

“Aku tidak halalkan masjid bagi orang yang haid dan junub”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 232, Al Baihaqi 2/442, Ibnu Khuzaimah 2/284, tetapi hadits ini derajatnya dha’if (lemah), karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Jasrah bintu Dajajah, dia hukumi dha’if oleh para ulama seperti Al Khattabi, Al Baihaqi, Al Isybili, Ibnu Hazm, dan Syaikh Al Albani dalam kitabnya irwa’ ghalil no. 193 dan tamamul minnah hal. 118.

6. Hukum asal badan wanita yang haid atau junub tidaklah najis, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لا يَنْجُسُ

“Sesungguhnya orang beriman itu tidak najis”. (HR. Bukhari no. 285 dan Muslim no. 371)

7. Hukum asal wanita haid dan junub boleh masuk dan duduk di masjid, sampai ada dalil yang shahih dan sharih/jelas melarangnya.

Maka wanita yang haid dan junub boleh masuk dan duduk di masjid dengan tetap menjaga agar darahnya tidak jatuh di masjid.

B. Hukum wanita yang sedang haid, nifas dan junub membaca Al Quran?

Dalam kondisi seperti ini wanita tetap dibolehkan membaca Al Quran meski sedang haid, nifas, dan junub. karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih/jelas melarangnya. ini merupakan pendapat para ulama seperti madzhab Malikiyah dalam (Al Qawanin Al Fiqhiyyah hal 25), Imam Ahmad dalam (Al Inshaf 1/249), madzhab Ad Dzahiriyah dalam (Al Muhalla 1/94), Ibnu Taimiyyah dalam (Majmu’ Al Fatawa 26/179), Ibnul Qayyim dalam (I’lamul Muwaqqi’in 3/25), Ibnu Utsaimin (Fatawa Nur ala Ad Darbi), Fatwa Lajnah Daimah (Fatawa 4/109).

Adapun hadits dengan lafadz :

 لَا تَقْرَأِ الحَائِضُ وَلَا الجُنُبُ شَيئًا مِنَ القُرْآنِ

“Janganlah wanita yang haid dan junub membaca Al Quran meskipun sedikit”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Al ‘Ilalul Al Kabir no. 59, Tirmidzi dalam Sunannya no. 131.

Tetapi para ulama menghukumi bahwa hadits ini dha’if (lemah) karena didalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin ‘Ayyasy, ia seorang yang lemah (ditinggalkan) para ulama haditsnya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (kitab. Majmu’ Al Fatawa 26/191) : hadits ini lemah menurut kesepakatan ulama hadits.

Berkata Ad Dzahabi (kitab. Siyar Al A’lam 6/118) : hadits ini lemah.

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar (kitab. Fathu Al Baari 1/487) : hadits ini lemah dari seluruh jalurnya. 

Syaikh Ibnu Baz (kitab. Fata Nur ala Ad Darbi 5/436) : hadits ini lemah.

Syaikh Al Albani (kitab. Takhrij Al Misykah no. 439) : hadits ini munkar.

Maka dibolehkan untuk membaca Al Quran bagi wanita yang sedan junub, haid dan nifas.

C. Wanita haid yang membaca Al Quran apakah boleh dengan memegang mushaf? atau memakai alas sehingga tidak bersentuhan langsung?

Ulama berbeda pendapat, tetapi pendapat yang rajih/kuat dalam hal ini bahwa wanita yang haid, nifas, dan junub boleh membaca Al Quran dengan memegang mushaf meski tanpa alas. karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih/jelas dalam melarang ini.

Adapun ayat : 

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

 “Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan”. (Qs. Al Waqi’ah : 79)

Bukanlah dalil larangan untuk menyentuh mushaf bagi wanita yang sedang haid atau nifas, tetapi ayat ini ditafsirkan Abdullah bin Abbas radiyaAllahu anhuma dan yang lain bahwa (الْمُطَهَّرُونَ) adalah para malaikat. 

Adapun hadits :

لَا يَمَسُّ القُرآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

“Tidak ada yang boleh menyentuh Al Quran kecuali yang suci”. (HR. Malik dalam Al Muwatha’ no. 477, dalam shahihul jami’ no. 7780)

berkata Syaikh Al Albani dalam (Fatawa Al Madinah wa Al Imarat hal. 68) : bahwa maksud (طَاهِرٌ) -suci- dalam hadits ini adalah seorang mukmin.

sedangkan hukum asal seorang mukmin adalah suci badanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لا يَنْجُسُ

“Sesungguhnya orang yang beriman itu tidak najis”. (HR. Bukhari no. 285 dan Muslim no. 371)

Maka hukumnya boleh membaca sambil menyentuh mushaf dan ini merupakan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya (Al Muhalla 1/81), Syaikh Al Albani dalam (Fatawa Al Madinah wa Al Imarat hal. 67-68), Syaikh Sayyid Salim dalam (Fiqhu As Sunnah lin Nisa’ hal. 46-47).

Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

WaAllahu A’lam.

Bahan Bacaan :

1. Mukhtashar kitab Al Umm lis Syafi’i, hal. 33 Imam Al Muzani, cet. pertama th. 1425 H, dar Al Ma’rifah Beirut – Libanon.
2. Fiqhu As Sunnah linnisa, hal. 77 Syaikh Abu Malik Kamal, cet. kedua th. 2009 M, dar at-taufiqiyah Cairo – Egypt.
3. At Tarjih fi Masaail At Thaharah wa As Shalah, hal. 85-98 Syaikh DR. Mohammad Bazmul, cet. pertama th. 1423 H, dar Al Hijrah Riyadh – KSA.
4. Shahih fiqhis Sunnah, 1/184-188 Syaikh Abu Malik Kamal, cet. pertama, Al Maktabah At Taufiqiyah Cairo – Egypt.
5. Tamaamu Al Minnah, hal. 118-119 Syaikh Al Albani, cet. kelima th. 1419 H, dar Ar Rayah Riyadh – KSA.
6. Ad Durus Al Muhimmah li Nisaai Al Ummah, 88-89, Syaikh Amru Abdul Mun’im, cet. kedua th. 1422 H, maktabah As Shahabah Syariqah – UEA.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *