Bulan Muharram adalah bulan pertama dari bulan-bulan hijriyyah dan termasuk salah satu dari bulan-bulan yang diharamkan berperang didalamnya.
Tulisan kali ini akan membahas secara singkat hukum dan permasalahan seputar bulan Muharram.
A. Keutamaan bulan Muharram
Bulan Muharram adalah termasuk bulan-bulan yang dimuliakan Allah, sebagaimana dalam firmanNya :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Qs. At Taubah : 36).
Sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya no. 3197 dan Muslim dalam shahihnya no. 1679, dari Abu Bakrah Nufa’i bin Al Harits bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَةِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Waktu berputar sebagaimana keadaannya semula ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Tahun terdiri dari dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan suci, tiga berurutan, yaitu Dzul qa’dah, Dzul hijjah, dan Muharram, dan yang ke empat adalah Rajab yang dinamai Mudlar, teletak di antara bulan Jumada (Al Tsani) dan Sya’ban”.
Berkata Ibnu Katsir dalam (tafsirnya 4/148) : “Sesungguhnya bulan yang diharamkan ada empat, tiga bulan di antaranya berurutan letaknya, sedangkan yang satunya lagi terpisah; hal ini tiada lain demi menunaikan manasik haji dan umrah. Maka diharamkan (disucikan) satu bulan sebelum bulan haji, yaitu bulan Dzul Qa’dah, karena mereka dalam bulan itu beristirahat tidak mau berperang; dan diharamkan bulan Dzul Hijjah karena dalam bulan itu mereka menunaikan ibadah haji dan sibuk dengan penunaian manasiknya. Kemudian diharamkan pula satu bulan sesudahnya yaitu bulan Muharram agar orang-orang yang telah menunaikan haji pulang ke negerinya yang jauh dalam keadaan aman. Kemudian diharamkan bulan Rajab di pertengahan tahun, untuk melakukan ziarah ke Baitullah dan melakukan ibadah umrah padanya, bagi orang yang datang kepadanya dari daerah yang jauh dari Jazirah Arabia. Maka mereka dapat menunaikan ibadah umrahnya, lalu kembali ke negerinya masing-masing dalam keadaan aman”.
Sebagian ulama merajihkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia dari empat bulan yang diharamkan Allah berperang di dalamnya.
Berkata Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah dalam (Lathaiful Ma’arif, hal. 79) : Ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama dari empat bulan haram? Al Hasan Al Bashri dan yang lain berpendapat bahwa bulan Muharram adalah yang paling utama, dan ini dikuatkan oleh sebagian ulama setelahnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan lainnya dari Abu Dzar radiyaAllahu anhu ia berkata :
سألتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أيُّ اللَّيلِ خيرٌ، وأيُّ الأشهُرِ أفضَلُ؟ فقال: خيرُ اللَّيلِ جَوفُه، وأفضَلُ الأشهُرِ شَهرُ اللهِ الذي تَدْعونَه المُحَرَّمَ
“Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang malam dan bulan apa yang paling utama? Maka beliau menjawab : sebaik-baik malam adalah pertengahan malam dan bulan yang paling mulia adalah bulan Allah yang kalian sebut dengan Muharram”.
Penyebutan bahwa bulan ini adalah yang paling mulia tentunya setelah bulan ramadhan.
B. Amalan yang disunnahkan di bulan Muharram
Disunnahkan berpuasa di bulan Muharram, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits diantaranya riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Seutama-utama puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat Fardhu, ialah shalat malam”. (HR. Muslim no. 1163).
Hadits ini sangat jelas menunjukkan keutamaan puasa di bulan Muharram.
Dan puasa yang disunnahkan di bulan Muharram adalah puasa di hari ‘Asyura, yaitu hari ke sepuluh di bulan Muharram. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 3397 dan Muslim no. 1130 dari Ibnu Abbas radiyaAllahu anhuma ia berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟ فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika sampai kota Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka : Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa? mereka menjawab : Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian. kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan para shahabat berpuasa di hari itu”.
Dalam hadits ini menunjukkan bahwa syariat islam perintahkan untuk menyelisihi orang-orang kafir secara umum, dan hari raya mereka secara khusus. karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyelisihi Yahudi dalam mengagungkan hari ‘Asyura dari dua sisi :
1. Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya, sedangkan Yahudi menjadikan hari tersebut sebagai hari raya karena Allah telah menyelamatkan Nabi Musa.
2. Nabi shallallahu alaihi wasallam menambah satu hari dalam berpuasa ‘Asyura, untuk menyelisihi kaum Yahudi. Maka dianjurkan berpuasa pada hari ke sembilan dan sepuluh, atau sepuluh dan sebelas.
C. Keutamaan puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu alaii wasallam menjelaskan keutamaan puasa ‘Asyura dalam haditsnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam (Shahihnya no. 1162) dari Abu Qatadah Al Harits bin Rib’i :
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Adapun puasa pada hari ‘Asyura, aku memohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya”.
Dalam lafadz lain :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Kemudian beliau ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Ia akan menghapus dosa-dosa sepanjang tahun yang telah berlalu”.
Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari no. 2006 dan Muslim no. 1132, bahwa Ibnu Abbas radiyaAllahu anhuma tatkala ditanya tentang puasa di hari ‘Asyura, Maka ia pun menjawab :
مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ وَلَا شَهْرًا إِلَّا هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي رَمَضَانَ
“Setahu saya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berpuasa pada hari tertentu untuk mengharap keutamaan atas hari-hari yang lain selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pula bulan tertentu, kecuali bulan ini, yakni bulan Ramadhan”.
D. Tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam puasa ‘Asyura
Terdapat dalam beberapa riwayat tentang puasa ‘Asyura, diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas radiyaAllahu anhu ia berkata :
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ؛ قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata : Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram). Sebelum tahun depan tiba Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah wafat terlebih dahulu”. (HR. Muslim no. 1134).
Dalam riwayat lain :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah dihari ke sepuluh (Muharram), selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya (hari ke sembilan) atau sehari sesudahnya (hari ke sebelas)”.
Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya no. 2155 dari Ibnu Abbas radiyaAllahu anhu, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no. 2095, derajat hadits ini diperselisihkan ulama. Sebagaian menghukumi hadits ini dha’if, sebagian lain menghukumi derajatnya hasan, seperti Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah. Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah : sanad hadits ini dha’if, karena terdapat rawi bernama Ibnu Abi Laila yang buruk hafalannya, dan juga ‘Atha meriwayatkan hadits ini secara mauquf sampai kepada Ibnu Abbas saja, dan sanadnya shahih dalam riwayat At Thahawi dan Al Baihaqi.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul Bari 4/311) : “Puasa ‘Asyura ada tiga tingkatan, yang paling rendah adalah puasa hari ke sepuluh saja, tingkatan diatasnya puasa hari ke sembilan dan sepuluh, dan tingkatan diatasnya adalah puasa hari ke sembilan, sepuluh dan sebelas”.
Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya (Zaadul Ma’ad 2/75).
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam (Fatawa fi ahkami As Shiyam, hal. 424, no. 394) : “Bahwa yang utama adalah puasa hari ke sepuluh dan menambah satu hari sebelum atau sesudahnya, tetapi jika menambah dengan hari ke Sembilan maka lebih utama”.
E. Bid’ah-bid’ah di bulan Muharram
Allah memuliakan bulan Muharram termasuk bulan-bulan yang diharamkan berperang di dalamnya, maka hendaknya bulan ini menjadi kesempatan untuk memperbanyak beribadah dan beramal shaleh, terlebih pada hari ‘Asyura dan satu hari sebelum atau sesudahnya. Tetapi pada hari-hari tersebut ternyata ada dua bid’ah besar yang dilakukan oleh manusia dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Yaitu :
1. Bid’ah Syi’ah Rafidhah, mereka meyakini bahwa bulan Muharram secara umum terlebih pada hari ‘Asyura sebagai hari kesedihan dan penyesalan. Karena pada hari ‘Asyura tahun 61 H Al Husain bin Ali radiyaAllahu anhuma terbunuh syahid. Maka kaum syi’ah rafidhah melakukan niyahah dengan menangis, memukul wajah, melukai kepala dan badan mereka dengan senjata tajam, dan lainnya sebagai bentuk kesedihan dan penyesalan karena mereka tidak bisa membela Al Husain, padahal itu semua adalah tangisan buaya dan penyesalan dusta.
2. Bid’ah Kuam Nawashib, yaitu bid’ah kegembiraan dengan terbunuhnya Al Husain bin Ali radiyaAllahu anhuma. Mereka ini adalah para pembenci dan memusuhi anak keturunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan Ahlus Sunnah meyakini wajibnya mencintai seluruh sahahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk keluarga beliau dan menunaikan hak-hak mereka, sungguh benar sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Al Hasan dan Al Husain adalah tuannya para pemuda ahli surga”. (HR. Tirmidzi no. 3781, dishahihkan Syaikh Al Albani).
Semoga bermanfaat, WaAllahu A’lam.
Bahan bacaan :
1. Lathaif Al Maarif, Al Hafidz Ibnu Rajab, cet. kelima, th. 1420 H, dar Ibnu Katsir Damaskus.
2. Tafsir Al Quran Al Adzim, Ibnu Katsir, cet. Kedua th. 1420 H, dar Thibah Riyadh.
3. Nailul Authar, Imam As Syaukani, cet. pertama, th. 1426 H, dar Mustaqbal dan Imam Malik Jazair.
4. Fatawa fi Ahkami As Shiyam Syaikh Ibnu Utsaimin, Fahd bin Nashir As Sulaiman, cet. Pertama, th. 1423 H, dar At Tsurayya Riyadh.
5. Al Bida’ Al Hululiyyah, Abdullah At Tuwaijiri, cet. Pertama, th. 1420 H, dar Al Fadhilah Riyadh.
6. As Shiyam fil Islam, Syaikh Sa’id bin Ali Al Qahthani.