Bulan syawwal adalah bulan kesepuluh dari bulan-bulan hijriyyah dalam islam, dan bulan yang mulia termasuk dari bulan-bulan haji. Sebagaimana firman Allah :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi”. (Qs. Al Baqarah : 197).
Berkata Umar bin Khattab radiyaAllahu anhu :
أشهُرُ الحَجِّ: شوَّالٌ، وذُو القَعْدَةِ، وعَشْرٌ من ذي الحَجَّةِ
“Bulan-bulan haji adalah Syawwal, Dzul Qa’dah, dan sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah”. (Syarhus Sunnah, Al Bagawi 7/33, dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Bulan syawwal memiliki beberapa keutamaan dan hukum yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.
A. Keutamaam Puasa Sunnah dan Wajib
Sesungguhnya puasa adalah termasuk ibadah yang paling agung, dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits tentang keutamaannya, diantaranya sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ المِسْكِ
“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah bagiKu dan Akulah yang akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karenaKu’. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika ia berbuka, dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan RabbNya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya kasturi”. (HR. Bukhari no. 1435 dan Muslim no. 1151).
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili radiyaAllahu anhu ia berkata :
يَا رَسُولَ اللَّهِ مُرْنِي بِأَمْرٍ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهِ، قَالَ : عَلَيْكَ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
“’Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, perintahlah aku dengan suatu perintah yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku, beliau bersabda : Hendaklah kamu berpuasa, karena ia tidak ada bandingannya”. (HR. Nasa’i no. 2221 dan Ahmad no. 22149, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib no. 986).
Juga sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ؛ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam surge ada satu pintu yang disebut dengan Ar Rayyan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan memasukinya. Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Lalu dikatakan kepada mereka; Mana orang-orang yang berpuasa? maka orang-orang yang berpuasa berdiri menghadap. Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Apabila mereka telah masuk semuanya, maka pintu itu ditutup dan tidak akan ada seorangpun yang masuk (melewati pintu tersebut)”. (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).
Adapun puasa syawal secara khusus maka terdapat keutamaannya dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam (Shahihnya no. 1164) :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa”.
B. Hukum Puasa Syawal
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa enam hari syawwal :
Pendapat pertama. Dianjurkan puasa syawwal. Ini adalah madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyyah.
Dalilnya :
Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa”. (HR. Muslim no. 1164).
Beliau juga bersabda shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ؛ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seakan ia berpuasa setahun secara sempurna. Dan barangsiapa berbuat satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh pahala yang semisal”. (HR. Ibnu Majah no. 1715, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6328).
Pendapat Kedua. Puasa syawwal hukumnya makruh. Ini adalah madzhab Malikiyyah dan sebagian Hanafiyyah.
Dalilnya :
Pertama. Bahwa penduduk kota Madinah tidak berpuasa syawwal, sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah :
لَمْ أَرَى أَحَدًا مِنْ أَهْلِ العِلْمِ وَالفِقْهِ يَصُومُهَا، وَلَم يَبْلُغنِي ذَلِك عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ، وَأَنَّ أَهلَ العِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun dari ahlul ilmi dan fuqaha’ yang berpuasa di bulan syawwal, dan juga tidak ada khabar yang sampai kepadaku dari kalangan salaf. para ulama juga tidak menyukai puasa tersebut”. (Al Muntaqa 2/76, karya Al Baji).
Kita jawab : Bahwa telah terdapat dalam hadits yang shahih tentang anjuran puasa syawal, maka tidak boleh ditentang dengan ucapan siapapun meskipun yang menentang mayoritas manusia. Maka hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam harus lebih diutamakan, sebagaimana firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al Hujurat : 1)
Kalau pun seandainya penduduk Madinah di zaman Imam Malik tidak berpuasa syawwal, maka itu bukan dalil bahwa puasa syawwal hukumnya makruh, karena para ulama yang lain telah mengamalkan hadits anjuran puasa syawwal, seperti Imam Syafi’I, Imam Ibnul Mubarak, Imam Ahmad dan lainnya.
Kedua. Jika kita anjurkan puasa syawwal maka nanti orang-orang akan menyangka bahwa ini hukumnya wajib, karena puasa ini berlanjut setelah puasa ramadhan.
Kita jawab : Yang demikian itu tidak benar, karena puasa syawwal ada jedah setelah ramadhan, yaitu larangan puasa di hari ‘Iedul fithri, pada tanggal satu syawwal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَا يَصْلُحُ الصِّيَامُ فِي يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Tidak boleh berpuasa pada dua hari; yaitu Iedul Adlha dan ‘Iedul fithri dari bulan Ramadhan”. (HR. Muslim no. 827).
Berkata Umar bin Khattab radiyaAllahu anhu :
إِنَّ هَذَيْنِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْآخَرُ يَوْمٌ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
“Sesungguhnya dua hari ini, merupakan dua hari yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang untuk berpuasa pada keduanya. Yakni, hari ‘Iedul Fithri setelah puasa kalian, dan satu lagi adalah hari ketika kalian makan daging dari hewan kurban kalian”. (HR. Bukhari no. 1990 dan Muslim no. 1137).
Sedangkan anjuran puasa syawwal adalah dimulai pada hari kedua.
Maka pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah madzhab mayoritas ulama, bahwa puasa enam hari dibulan syawwal hukumnya sunnah.
C. Sunnah-Sunnah bulan Syawwal
Di bulan yang mulia ini terdapat sunnah-sunnah selain puasa enam hari. Diantaranya adalah :
1. Merayakan hari pertama bulan syawwal, yaitu hari ‘iedul fithri.
2. Dianjurkan mengqadha I’tikaf bagi yang tidak sempat beri’tikaf di sepuluh terakhir ramadhan. Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radiyaAllah anha :
فَلَمْ يَعْتَكِفْ فِي رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي آخِرِ العَشْرِ مِنْ شَوَّالٍ
“Beliau shallallahu alaihi wasallam tidak meneruskan i’tikaf ramadhan hingga kemudian Beliau melaksanakannya pada sepuluh akhir dari bulan Syawal”. (HR. Bukhari no. 2041).
3. Mengqadha puasa ramadhan. Sebagaimana diriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi pernah bertanya kepada seseorang :
هَلْ صُمْتَ مِنْ سُرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا قَالَ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ
“Apakah kamu berpuasa di hari-hari terakhir bulan (Sya’ban) ini? laki-laki itu menjawab : Tidak. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kamu telah menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari untuk menggantikannya”. (HR. Bukhari no. 1983 dan Muslim no. 1161).
4. Menikah. Sebagaimana yang diceritakan Aisyah radiyaAllahu anha :
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menikahiku pada bulan syawwal, dan mulai berumah tangga bersamaku pada bulan syawwal, maka tidak ada di antara istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku. Perawi berkata : Oleh karena itu, Aisyah sangat senang menikahkan para wanita di bulan syawwal”. (HR. Muslim no. 1423).
5. Umrah. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radiyaAllahu anhu :
كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ الْعُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ مِنْ أَفْجَرِ الْفُجُورِ فِي الْأَرْضِ، وَيَجْعَلُونَ الْمُحَرَّمَ صَفَرًا، وَيَقُولُونَ إِذَا بَرَا الدَّبَرْ وَعَفَا الْأَثَرْ وَانْسَلَخَ صَفَرْ حَلَّتْ الْعُمْرَةُ لِمَنْ اعْتَمَرْ؛ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ صَبِيحَةَ رَابِعَةٍ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً فَتَعَاظَمَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْحِلِّ؟ قَالَ : حِلٌّ كُلُّهُ
“Orang-orang Jahiliyah menganggap melaksanakan umrah pada bulan-bulan hajji adalah kejahatan yang paling besar di muka bumi dan mereka menjadikan bulan haram adalah bulan Shafar, dan mereka berkata: Jika luka sudah sembuh (pada unta setelah melahirkan) dan sisa-sisa pelaksanaan hajji sudah hilang dan bulan Shafar sudah berlalu maka baru dibolehkan umrah bagi mereka yang mau berumrah. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya tiba di Makkah pada hari keempat bulan Dzul Hijjah, mereka bertalbiyyah untuk haji. Kemudian Beliau memerintahkan mereka agar menjadikannya sebagai niat umrah. Hal ini menjadi perkara yang besar bagi mereka sehingga mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apa saja yang halal (dibolehkan)?. Beliau menjawab: Semuanya halal (boleh)”. (HR. Bukhari no. 1564 dan Muslim no. 1240).
D. Hukum berpuasa syawwal sebelum mengqadha’ puasa ramadhan
Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang hal ini :
Pendapat pertama. Sebagian ulama mensyaratkan qadha’ ramadhan terlebih dahulu kemudian berpuasa syawwal. karena kata (ثُمَّ) dalam hadits Abu Ayyub Al Anshari radiyaAllahu anhu tersebut menunjukkan tartib ramadhan kemudian syawwal, dan perkara yang wajib harus lebih didahulukan sebelum yang sunnah. ini adalah pendapat madzhab Hanabilah dan difatwakan Syaikh Ibnu Baz dalam (Majmu’ Fatawa 15/392), Syaikh Al Albani dalam (silsilah Al Huda wa An Nur no. 753) dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam (Syarhul Mumti’ 6/448).
Pendapat kedua. Mayoritas ulama dari Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan riwayat dari Imam Ahmad berpendapat boleh mendahulukan puasa syawwal dan mengakhirkan qadha’ ramadhan, karena orang yang mendapati ramadhan meskipun tidak sempurna puasa satu bulan maka tetap terhitung mendapatkan puasa ramadhan. karena dia pasti akan tetap mengqadha’ puasa ramadhannya di hari yang lain, sedangkan waktu syawwal terbatas berbeda dengan waktu mengqadha’. Berdasarkan riwayat dari Aisyah radiyaAllahu anha bahwa beliau berkata :
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku dahulu punya kewajiban (hutang) puasa. Aku tidak bisa membayar (hutang) puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban”. (HR. Bukhari no. 1950).
Maka pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya mendahulukan puasa syawwal sebelum mengqadha’ puasa ramadhan. Dirajihkan Syaikh Abu Malik Kamal Salim dalam (Shahih fiqhis sunnah 2/121), dan Syaikh DR. Muhamad Ali Ferkus dalam (fatawa As Shiyam no. 766).
E. Hukum puasa dengan dua niat, qadha’ dan syawwal
Hal ini tidak dibolehkan seseorang berpuasa dengan niatan untuk mengqadha’ ramadhan sekaligus diniatkan untuk puasa enam hari syawwal. Maka harus dibedakan hari dan niatnya. Sebagaimana yang difatwakan oleh para ulama diantaranya Syaikh Bin Baz dalam (fatawa Nur ala Ad Darbi) dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam (Fatawa As Shiyam hal. 427-428).
F. Kesalahan-kesalahan di bulan Syawwal
Diantara kesalahan dan bid’ah di bulan syawwal adalah :
1. Berpuasa di hari pertama bulan syawwal.
Puasa di hari tersebut hukumnya haram, maka puasanya tertolak. Karena hari itu adalah hari ‘iedul fithri, hari makan dan minum yang diharamkan berpuasa.
2. Menjadikan hari kedelapan sebagai hari raya syawwal dengan nama ‘iedul abrar. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
وَأَمَّا ثَامِنُ شَوَّال فَلَيسَ عِيدًا لَا لِلأَبْرارِ وَلَا لِلفُجَّار، وَلَا يَجُوزُ لِأحَدٍ أَن يَعتَقِدَه عِيدًا، وَلَا يُحدِثُ فِيهِ شَيئًا مِن شَعَائِر الأَعيَادِ
“Adapun hari kedelapan dari bulan syawwal maka bukanlah hari raya, bukan hari rayanya orang-orang baik, bukan juga untuk orang jahat, tidak boleh siapapun meyakininya sebagai hari raya, juga tidak boleh mengada-ada sesuatu apapun dari syiar-syiar hari raya”. (Al Fatawa Al Kubra, 5/379).
Termasuk kesalahan sebagian orang adalah merayakan hari raya ketupat, jika ini dinisbatkan kepada agama maka hukumnya bid’ah.
3. Meyakini bahwa puasa syawwal hukumnya wajib.
Ini tidak ada dalilnya, karena puasa syawwal hukumnya sunnah sebagaiman kita jelaskan diatas.
4. Meyakini bahwa puasa syawwal harus berurutan.
Hal ini juga tidak ada dalilnya, bahkan para ulama mengatakan tidak disyaratkan harus berurutan dalam puasa enam hari syawwal.
5. Merasa sial dengan bulan syawwal.
Sehingga sebagian orang tidak mau menikah di bulan syawwal, tetapi keyakinan jahiliyyah ini telah dibantah oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan menikahi Aisyah radiyaAllah anha di bulan syawwal.
Semoga bermanfaat dan Semoga Allah menerima ibadah puasa ramadhan dan puasa syawwal kita.
WaAllahu A’lam.
Bahan Bacaan :
1. Shahih Fiqhus Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, cet. Pertama, Al Maktabah At Taufiqiyah Cairo.
2. Ahkam Shiyam Sittah min Syawwal, Syaikh DR. Sami bin Muhammad As Shuqair.
3. At Tarjih Fi Masaail As Shaum wa Az Zakah, Syaikh DR. Muhammad Umar Bazmul, cet. Pertama 1426 H, dar Ibnu Affan Cairo.
4. Fatawa As Shiyam, cet. Pertama 1428 H, Madar Al Wathan Riyadh.
One Response
بارك الله فيك ونفع الله بك الأمة